
Kupang – Kantor Wilayah Kementerian Hukum Nusa Tenggara Timur mengikuti kegiatan Analisis Strategi Implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang Indikasi Geografis sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2022 yang digelar secara hybrid, Selasa (14/10/2025).
Kegiatan ini diikuti oleh Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum, Hasran Sapawi beserta jajaran. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah sebagai upaya memperkuat pemahaman, koordinasi, dan implementasi kebijakan perlindungan indikasi geografis (IG) di seluruh wilayah Indonesia, sekaligus menindaklanjuti perubahan substansial dalam regulasi terbaru mengenai tata cara pendaftaran, perlindungan, dan pemanfaatan indikasi geografis.

Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum, Andry Indrady, Ph.D., yang dalam sambutannya menyampaikan pentingnya peran strategis pemerintah daerah dalam mendorong implementasi indikasi geografis secara optimal.
“Indikasi geografis bukan sekadar perlindungan hukum atas produk lokal, tetapi juga instrumen strategis untuk mendorong potensi ekonomi daerah. Diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat pemegang hak untuk mewujudkan ekosistem kekayaan intelektual yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan,” ujar Andry.
Beliau menegaskan bahwa BSK Hukum berkomitmen terus melakukan penguatan kebijakan dan pengawasan implementasi di tingkat daerah agar setiap potensi unggulan daerah dapat terlindungi secara hukum dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.

Selanjutnya, Dr. Saiful Sahri, A.Md.IP., S.Sos., M.H., Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Maluku, memaparkan hasil Analisis Strategi Implementasi Permenkumham Nomor 12 Tahun 2019 tentang Indikasi Geografis yang telah dilakukan oleh jajarannya di wilayah Maluku.
Dalam paparannya, Dr. Saiful menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama dalam implementasi kebijakan ini adalah masih terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap prosedur pendaftaran serta pentingnya dokumen deskripsi indikasi geografis.
“Kami menemukan bahwa penguatan kapasitas kelembagaan, peningkatan pemahaman masyarakat, serta kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan dalam penerapan kebijakan indikasi geografis. Strategi implementasi harus menyasar edukasi publik dan pendampingan teknis kepada kelompok masyarakat pemegang produk lokal,” ujar Dr. Saiful.

Materi berikutnya disampaikan oleh Dr. Irma Mariana, S.T., M.Si., Ketua Tim Kerja Indikasi Geografis Direktorat Kekayaan Intelektual, dengan tema “Dari Perlindungan Menuju Pemanfaatan: Mewujudkan Ekosistem Indikasi Geografis yang Produktif dan Kompetitif.”
Dr. Irma menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap produk indikasi geografis harus diiringi dengan strategi pemanfaatan ekonomi yang berkelanjutan.
“Tujuan perlindungan indikasi geografis tidak berhenti pada pengakuan hukum. Kita harus memastikan bahwa produk tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat pemegang hak, memperkuat branding daerah, dan mendorong daya saing nasional,” jelas Dr. Irma.
Beliau juga menyoroti pentingnya dukungan kebijakan lintas sektor dalam menciptakan ekosistem yang mendorong promosi, pemasaran, dan inovasi produk indikasi geografis.
Sebagai narasumber terakhir, Prof. Dr. Teng Berlianty, S.H., M.Hum., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pattimura, menyampaikan materi mengenai Implementasi Penyusunan Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis Berdasarkan Permenkumham Nomor 12 Tahun 2019 yang Telah Diubah dengan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2022.

Dalam paparannya, Prof. Teng menjelaskan bahwa dokumen deskripsi merupakan komponen utama dalam pendaftaran indikasi geografis karena berfungsi menjelaskan karakteristik, kualitas, dan keterkaitan produk dengan wilayah asalnya.
“Perubahan regulasi melalui Permenkumham Nomor 10 Tahun 2022 memberikan kejelasan prosedural dan memperkuat aspek substantif dalam penyusunan dokumen deskripsi. Dengan demikian, produk indikasi geografis Indonesia dapat bersaing secara global dengan legitimasi hukum yang lebih kuat,” tegasnya.
Prof. Teng juga mendorong agar perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan komunitas masyarakat turut berperan aktif dalam menyusun dokumen deskripsi yang sesuai standar internasional, sehingga dapat meningkatkan peluang pengakuan indikasi geografis Indonesia di kancah dunia.
Dari tempat terpisah, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Nusa Tenggara Timur, Silvester Sili Laba menyampaikan apresiasinya terhadap kegiatan yang diinisiasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum Maluku.
“Kegiatan ini sangat penting bagi kami di daerah, karena Nusa Tenggara Timur memiliki banyak potensi produk lokal yang layak mendapatkan perlindungan indikasi geografis, seperti Kopi Flores, Tenun Ikat NTT, dan hasil laut khas daerah. Kami berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi lintas instansi agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi kekayaan intelektual yang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.
Beliau juga menegaskan bahwa Kanwil Kemenkum NTT akan terus melakukan sosialisasi, pendampingan, dan pembinaan terhadap pemerintah daerah, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat dalam memahami tata cara pendaftaran dan penyusunan dokumen deskripsi indikasi geografis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melalui kegiatan ini, diharapkan seluruh Kantor Wilayah Kementerian Hukum di Indonesia, termasuk NTT, dapat memperkuat strategi pelaksanaan kebijakan indikasi geografis secara terarah dan berkelanjutan.

