
Kupang,— Dalam rangka mendorong penguatan pelaporan Aksi Hak Asasi Manusia (HAM), Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kanwil Kemenkum) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di bawah kepemimpinan Silvester Sili Laba, melalui Analis Hukum Ahli Madya, Dientje Elensia Bule Logo, menghadiri Bimbingan Teknis (Bimtek) Pelaporan Aksi HAM yang berlangsung di Hotel Neo Aston Kupang, Selasa (12/8).
Kegiatan strategis ini menghadirkan narasumber dari Direktorat Kepatuhan HAM Instansi Pemerintah, Tiara Pertiwi dan Sukma Wijaya Hasibuan, yang menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam memastikan perlindungan HAM berjalan optimal hingga ke akar rumput.
Dalam paparannya, narasumber menekankan bahwa pelaporan Aksi HAM yang wajib disampaikan oleh Pemerintah Provinsi serta Kabupaten/Kota, harus dilengkapi dengan data dukung paling lambat 25 Agustus 2025.Aksi HAM difokuskan pada empat kelompok sasaran, yaitu Perempuan, Anak, Penyandang Disabilitas, Masyarakat Adat.

Salah satu contoh nyata Aksi HAM adalah Aksi II yang menyasar kelompok perempuan. Kegiatan ini mencakup reviu, kajian, dan perubahan terhadap regulasi diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Indikator keberhasilan Aksi ini adalah berkurangnya jumlah kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.
Kepala Biro Hukum Setda NTT, Max Sombu, menggarisbawahi bahwa pelaporan Aksi HAM merupakan bentuk pertanggungjawaban dan komitmen nyata dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam menjunjung tinggi HAM di NTT.
Namun, ia menyoroti bahwa dalam pelaporan B04 sebelumnya, terdapat delapan kabupaten yang belum melaporkan Aksi HAM. Menyikapi hal tersebut, Gubernur NTT telah mengeluarkan surat edaran yang mendorong percepatan pelaporan oleh seluruh Pemda, mengingat tahun 2025 adalah tahun terakhir pelaksanaan RANHAM generasi kelima (2021–2025).
Menambahkan perspektif yang lebih luas, Ketua Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menekankan bahwa pelayanan publik adalah bagian integral dari HAM. Ia menegaskan bahwa setiap individu—termasuk perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat—berhak atas layanan publik yang setara, adil, dan inklusif.

“Ombudsman saat ini sedang berupaya menarik benang merah antara standar layanan publik dan indikator Aksi HAM, agar terwujud sinergitas yang lebih kuat dalam pembangunan HAM di NTT,” ujar Darius.
Kegiatan Bimtek ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat tata kelola HAM di daerah, sekaligus menjadi panggilan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk tidak hanya melaporkan, tetapi juga mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM secara konkret.
NTT kini berada di persimpangan penting dalam sejarah pelaksanaan RANHAM. Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat, diharapkan NTT mampu menjadi contoh provinsi yang maju dalam perlindungan HAM, terutama bagi kelompok-kelompok yang paling rentan.
